Senin, 26 Juni 2017

PENYELESAIAN SENGKETA


Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat  publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak (Nurnaningsih Amriani, 2012: 12).
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai macam pemecahan masalah, antara lain :


1. NEGOSIASI
A.   Pengertian Negosiasi
Definisi negosiasi secara formal dapat diartikan sebagai suatu bentuk pertemuan bisnis antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan bisnis. Negosiasi merupakan perundingan antara dua pihak dimana didalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar menawar. Selain itu negosiasi juga merupakan ijab kabul dari sebuah proses interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima atas sesuatu yang ditentukan dengan kesepakatan bersama.
v  Keterampilan – keterampilan dasar
Berikut ini adalah keterampilan-keterampilan dasar dalam bernegosiasi yaitu :
1.      Ketajaman pikiran / kelihaian
2.      Kesabaran
3.      Kemampuan Beradaptasi
4.      Daya tahan
5.      Kemampuan bersosialisasi
6.      Konsentrasi
7.      Kemampuan berkomunikasi
8.      Memiliki selera humor


v  Kriteria dalam Bernegosiasi
Adapun criteria dalam melakukan negosiasi antara lain :
1.      Ada pihak – pihak yang terlibat
2.      Ada tujuan yang hendak dicapai setiap pihak
3.      Ada permasalahan yang dibahas
4.      Ada proses tawar-menawar
5.      Ada harapan mencapai kesepakatan
B. Langkah-langkah melakukan Negosiasi
1.      Persiapan
Langkah pertama dalam melakukan negosiasi adalah langkah persiapan. Persiapan yang baik merupakan fondasi yang kokoh bagi negosiasi yang akan kita lakukan. Hal tersebut akan memberikan rasa percaya diri yang kita butuhkan dalam melakukan negosiasi. Yang pertama harus kita lakukan dalam langkah persiapan adalah menentukan secara jelas apa yang ingin kita capai dalam negosiasi. Tujuan ini harus jelas dan terukur, sehingga kita bisa membangun ruang untuk bernegosiasi. Tanpa tujuan yang terukur, kita tidak memiliki pegangan untuk melakukan tawar-menawar atau berkompromi dengan pihak lainnya.
Hal kedua dalam persiapan negosiasi adalah kesiapan mental kita. Usahakan kita dalam kondisi relaks dan tidak tegang. Cara yang paling mudah adalah dengan melakukan relaksasi. Bagi kita yang menguasai teknik pemrograman kembali bawah sadar (subconscious reprogramming) kita dapat melakukan latihan negosiasi dalam pikiran bawah sadar kita, sehingga setelah melakukannya  berkali-kali secara mental, kita menjadi lebih siap dan percaya diri.
a.         Pembukaan
Mengawali sebuah negosiasi tidaklah semudah yang kita bayangkan. Kita harus mampu menciptakan atmosfir atau suasana yang tepat sebelum proses negosiasi dimulai. Untuk mengawali sebuah negosiasi dengan baik dan benar, kita perlu memiliki rasa percaya diri, ketenangan, dan kejelasan dari tujuan kita melakukan negosiasi. Ada tiga sikap yang perlu kita kembangkan dalam mengawali negosiasi yaitu: pleasant (menyenangkan), assertive (tegas, tidak plin-plan), dan firm (teguh dalam pendirian). Senyum juga salah satu hal yang kita perlukan dalam mengawali sebuah negosiasi, sehingga hal tersebut akan memberikan perasaan nyaman dan terbuka bagi kedua pihak. Berikut ada beberapa tahapan dalam mengawali sebuah negosiasi:
a. Jangan memegang apa pun di tangan kanan anda ketika memasuki ruangan negosiasi;
b. Ulurkan tangan untuk berjabat tangan terlebih dulu;
c. Jabat tangan dengan tegas dan singkat;
d. Berikan senyum dan katakan sesuatu yang pas untuk mengawali pembicaraan.
Selanjutnya dalam pembicaraan awal, mulailah dengan membangun common ground, yaitu sesuatu yang menjadi kesamaan antar kedua pihak dan dapat dijadikan landasan bahwa pada dasarnya selain memiliki perbedaan, kedua pihak memiliki beberapa kesamaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun rasa percaya.
b.      Memulai proses negosiasi
Langkah pertama dalam memulai proses negosiasi adalah menyampaikan (proposing) apa yang menjadi keinginan atau tuntutan kita. Yang perlu diperhatikan dalam proses penyampaian tujuan kita tersebut adalah:
a.       Tunggu saat yang tepat bagi kedua pihak untuk memulai pembicaraan pada materi pokok
negosiasi;
b.      Sampaikan pokok-pokok keinginan atau tuntutan pihak anda secara jelas, singkat dan penuh
percaya diri;
c. Tekankan bahwa anda atau organisasi anda berkeinginan untuk mencapai suatu kesepakatan dengan mereka;
d. Sediakan ruang untuk manuver atau tawar-menawar dalam negosiasi, jangan membuat hanya dua pilihan ya atau tidak;
e. Sampaikan bahwa ”jika mereka memberi anda ini anda akan memberi mereka itu – if you’ll give us this, we’ll give you that.” Sehingga mereka mengerti dengan jelas apa yang harus mereka berikan sebagai kompensasi dari apa yang akan kita berikan.
f. Hal kedua dalam tahap permulaan proses negosiasi adalah mendengarkan dengan efektif apa yang ditawarkan atau yang menjadi tuntutan pihak lain. Mendengar dengan efektif memerlukan kebiasaan dan teknik-teknik tertentu. Seperti misalnya bagaimana mengartikan gerakan tubuh dan ekspresi wajah pembicara. Usahakan selalu membangun kontak mata dengan pembicara dan kita berada dalam kondisi yang relaks namun penuh perhatian.
a.    Zona Tawar Menawar (The Bargaining Zone)
Dalam proses inti dari negosiasi, yaitu proses tawar menawar, kita perlu mengetahui apa itu The Bargaining Zone (TBZ). TBZ adalah suatu wilayah ruang yang dibatasi oleh harga penawaran pihak penjual (Seller’s Opening Price) dan Tawaran awal oleh pembeli (Buyer’s Opening Offer). Di antara kedua titik tersebut terdapat Buyer’s Ideal Offer, Buyer’s Realistic Price dan Buyer’s Highest Price pada sisi pembeli dan Seller’s Ideal Price, Seller’s Realistic Price dan Seller’s Lowest Price pada isi pembeli. Kesepakatan kedua belah pihak yang paling baik adalah terjadi di dalam wilayah
yang disebut Final Offer Zone yang dibatasi oleh Seller’s Realistic Price dan Buyer’s Realistic Price. Biasanya kesepakatan terjadi ketika terdapat suatu overlap antara pembeli dan penjual dalam wilayah Final Offer Zone.
b.  Membangun Kesepakatan
Babak terakhir dalam proses negosiasi adalah membangun kesepakatan dan menutup negosiasi. Ketika tercapai kesepakatan biasanya kedua pihak melakukan jabat tangan sebagai tanda bahwa kesepakatan (deal or agreement) telah dicapai dan kedua pihak memiliki komitmen untuk melaksanakannya.
Yang perlu kita ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan kalau sejak awal masing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak bertepuk sebelah tangan.
Karena itu, penting sekali dalam awal-awal negosiasi kita memahami dan mengetahui sikap dari pihak lain, melalui apa yang disampaikan secara lisan, bahasa gerak tubuh maupun ekspresi wajah. Karena jika sejak awal salah satu pihak ada yang tidak memiliki niat atau keinginan untuk mencapai kesepakatan, maka hal tersebut berarti membuang waktu dan energi kita. Untuk itu perlu dicari jalan lain, seperti misalnya: conciliation, mediation dan arbitration melalui pihak ketiga.
Demikian sekilas mengenai negosiasi, yang tentunya masih banyak hal lain yang tidak bisa dikupas dalam artikel pendek. Yang penting bagi kita selaku praktisi Mandiri, kita harus tahu bahwa negosiasi bukan hal yang asing.
Setiap kita adalah negosiator dan kita melakukannya setiap hari setiap saat. Selain itu negosiasi memerlukan karakter (artinya menggunakan seluruh hati dan pikiran kita), memerlukan penguasaan metoda atau pun teknik-tekniknya dan memerlukan kebiasaan dalam membangunperilaku bernegosiasi yang baik dan benar.
2. MEDIASI
1.Pengertian mediasi
Dalam kepustakaan ditemukan banyak definisi tentang mediasi. Menurut Prof. Takdir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memilih kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.
Tetapi menurut Peraturan Mahkamah Agung, Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 ayat (6) PERMA No. 2 tahun 2003)..
2. Alasan adanya mediasi
a. karena adanya pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.
b. karena mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat mernberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi;
c. karena institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif);
d. karena hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, rnendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama;
Sesuai dengan pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2/2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator
3. Pihak yang wajib melakukan mediasi.
Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh penyelesaian. (pasal 1 ayat (7) PERMA No. 2 tahun 2003)
Dalam Perma Nomor 2 tahun 2003 diatur bahwa mediasi bisa dilaksanakan di dalam dan diluar pengadilan. Jika proses mediasi dilaksanakan di dalam pengadilan maka pelaksanaannya gratis karena memakai fasilitas pengadilan. Tetapi jika proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, maka para pihak harus bersepakat mengenai tempat, biaya dan sebagainya yang diperlukan.
4. Prosedur Mediasi
Proses mediasi itu awalnya sama seperti orang berperkara biasa, dimana penggugat mendaftarkan perkaranya. Kemudian pada hari pertama sidang hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dalam Perma ini juga diberikan beberapa pilihan. Artinya mediator itu tidak harus hakim, tapi juga bisa non hakim, dan tidak harus di pengadilan, namun bisa juga di luar pengadilan. Yang paling penting hakim dengan sedemikian rupa mencoba mendamaikan mereka melalui mediasi. Alternatifnya, ada para pihak yang tetap tidak mau damai/mediasi karena udah terlanjur benci atau ada perasaan negatif dengan institusi pengadilan jika proses mediasinya dilaksanakan di dalam pengadilan. Oleh sebab itu mereka boleh melakukan proses mediasi di luar pengadilan, tapi mereka terlebih dahulu sudah meregister seperti halnya dalam meregister perkara biasa. Kemudian hakim membuka sidang dan menawarkan serta mengupayakan perdamaian atau mediasi.
Yang jelas pengupayaan itu dilakukan pada saat sidang yang pertama kali. Hal itu telah diatur dalam hukum acara sendiri. Jadi para pihak harus menempuh proses perdamaian itu. Tentunya ada waktu-waktu tertentu. Kalau misalnya memilih di luar pengadilan paling lama waktunya itu satu bulan, dan kalau dalam pengadilan itu 22 hari.
Sebelum memulai proses persidangan, hakim mengupayakan perdamaian terlebih dahulu, yaitu dengan menawarkan apakah para pihak bersedia untuk menyelesaikan perselisihan melalui mediasi atau tidak. Para pihak diberi jangka waktu satu hari untuk memilih mau melaksanakan proses mediasi dimana (di luar atau di dalam pengadilan). Kalau misalnya tidak bisa juga atau mereka tidak mengambil keputusan akan hal itu maka hakim yang akan memutuskan dimana proses mediasi akan dilakasanakan. Kalau proses mediasi dilaksanakan di dalam maka para pihak boleh memilih hakim-hakim yang akan jadi mediatornya.
Mediasi itu sebenarnya bagian dari alternatif penyelesaian sengketa. Tapi yang kita bicarakan disini adalah mediasi yang kita sebut court connected mediation artinya mediasi di dalam ruang lingkup pengadilan. Namun karena dia adalah pemberdayaan dari Pasal 130 HIR maka mediasi menjadi wajib sifatnya. Tapi pengertian mediasi secara umum memang seperti yang saya katakan, yaitu mediasi di dalam perma itu memang sifatnya mandatory, tapi nature dari mediasi sendiri itu adalan voluntary atau sukarela.
Untuk memulai suatu proses mediasi di pengadilan itu para pihak dalam hal ini penggugatnya (semua dalam mediasi adalah perkara perdata) harus mengajukan gugatan, pendaftaran perkara, melewati ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk majelis hakim dan pada hari yang ditentukan yaitu pada hari pertama sidang majelis hakim harus mengupayakan perdamaian kepada para pihak. Dengan mengupayakan perdamaian itu diarahkan agar para pihak melalui proses mediasi dulu. Dalam Perma tentang Mediasi ditentukan bahwa majelis hakim yang menangani perkara itu berbeda dengan mediator yang nanti akan mencoba mendamaikan kedua belah pihak. Jadi kalau tadinya ada kekhawatiran bahwa hakim itu naturenya selalu keras karena mungkin selama ini dia memang dididik untuk seperti itu, maka dengan adanya Perma ini pandangan seperti harus diubah, karena hakim itu tidak selalu bersifat memutus. Selain itu mediator yang ada di pengadilan atau yang akan ada di proses mediasi itu sebelumnya sudah ditraining. Dalam perma ini memang yang menjadi mediator itu ada 2, yaitu hakim dan non hakim yang akan melewati pelatihan khusus mediator.
Saat ini kita sedang menyusun kriteria mediator non hakim itu kira-kira siapa saja. Kalau kita lihat di berbagai negara, mediator non hakim itu ada pengacara, pensiunan hakim. Mungkin kalau di indonesia juga bisa pemuka adat atau pemuka agama. Artinya tidak hanya terbatas pada orang yang bergerak di bidang hukum saja.
Kesepakatan damai itu yang telah dicapai para pihak haruslah merupakan haruslah acceptable solution. Jadi kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan yang diterima oleh kedua belah pihak dan menguntungkan kedua belah pihak. Tidak harus win-win solution, tapi ada garis yang bisa diambil menjadi kesepakatan. Artinya kedua belah pihak sama-sama menerima keputusan itu, karena kalau misalnya ternyata kedua belah pihak itu tidak menerima keputusan itu akan berpengaruh kepada implementasi dari kesepakatan itu.
Berjalanannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang mediator. Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses mediasi. Terdapat banyak teori mengenai tugas seorang mediator. Namun secara umum terdapat 7 tugas seorang mediator. Pertama mediator harus menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa agar para pihak tidak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya. Kedua, mediator juga harus memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan mengumpulkan serta menganalisa proses mediasi dan latar belakang sengketa. Hal ini penting untuk dilakukan agar mediator dalam mengarahkan mengetahui jalur penyelesaian sengketa ini bagaiamana dan selanjutnya menyusun rencana-rencana mediasi serta membangun kepercayaan dan kerjasama. Bentuk mediasi dapat berupa sidang-sidang mediasi. Ketiga, mediator harus mampu untuk merumuskan masalah dan menyusun agenda, karena kadang-kadang yang kelihatan dari luar itu sebenarnya yang besar-besarnya saja. Sebenarnya kalau dalam persengketaan itu ada kepentingan lain yang dalam teori Alternatif Dispute Resolution (ADR) disebut interest base/apa yang benar-benar para pihak mau. Interest base itu kadang-kadang tidak terungkap di luar proses ADR. Keempat, Mediator juga harus mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak. terkadang ada para pihak yang beritikad tidak baik, dan hal itu tidak boleh. Keenam, mediator juga harus membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa, pintar dan jeli dalam memandang suatu masalah. Ketujuh, Mediator dapat menganalisa pilihan-pilihan tersebut untuk diberikan kepada para pihak dan akhirnya sampai pada proses tawar menawar akhir dan tercapai proses penyelesaian secara formal berupa kesepakatan antar para pihak. Sebaiknya yang hadir dalam proses mediasi adalah pihak-pihak yang mengambil keputusan agar jangan sampai terjadi ketimpangan
Dalam Perma Nomor 2 tahun 2003 diatur bahwa mediasi bisa dilaksanakan di dalam dan diluar pengadilan. Jika proses mediasi dilaksanakan di dalam pengadilan maka pelaksanaannya gratis karena memakai fasilitas pengadilan. Tetapi jika proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, maka para pihak harus bersepakat mengenai tempat, biaya dan sebagainya yang diperlukan.
Di atas disebutkan bahwa mediator harus mampu untuk menggali masalah, termasuk masalah yang tidak terungkap. Tahap ini kurang lebih merupakan tahap pembuktian apabila di sidang pengadilan. Untuk memperoleh data-data yang belum terungkap, maka keahlian dari si mediator sangat diperlukan. Jadi si mediator harus mencoba untuk menggali kepentingan-kepentingan dan mencoba supaya para pihak bisa mengerti dan kemudian menyusun solusinya. Mediator harus berhati-hati juga, karena mediasi itu ada unsur art and science, jadi si mediator berhati-hati dalam mengemukakan atau menggali kepentingan-kepentingan yang ada. Jika ia tidak berhati-hati bisa-bisa mediator itu akhirnya dibilang tidak netral. Sebenarnya di dalam mediasi itu tidak ada yang namanya extensive discovery.
Setelah pemilihan penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak. Semua hal itu harus diungkapkan dalam proses mediasi untuk memudahkan para pihak. Namun dalam proses mediasi, dimungkinkan pemanggilan saksi ahli atas persetujuan para pihak, untuk memberikan penjelasan dan pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Namun apabila proses mediasi tersebut tidak berhasil dan para pihak ternyata melanjutkan perselisihan tersebut ke pengadilan, maka sebaiknya dipakai saksi ahli yang lain, kecuali orang yang ahli di bidang itu hanya sedikit atau hanya satu orang. Saksi ahli itu dipanggil untuk penyelesaian perbedaan sesuai dengan ilmu dan keahliannya. Apa yang dia ungkapkan pada proses mediasi maupun pengadilan itu sifatnya bukan untuk memihak salah satu pihak melainkan berbicara mengenai fakta sebenarnya. Fungsi mediator disini hanya mengarahkan aja. Perlu tidaknya keterangan saksi ahli tergantung para pihak.
Jangka waktu proses mediasi telah ditentukan dalam Perma. Untuk mediasi di luar pengadilan jangka waktunya 30 hari. Sedangkan apabila proses mediasi tersebut berjalan di dalam pengadilan, maka jangka waktu proses mediasi tersebut adalah 22 hari setelah penunjukan mediator. Jadi nanti setelah waktu yang ditetapkan itu kembali ke pengadilan. Kemudian dimintakan penetapan oleh hakim. Jika dalam batas waktu yang ditentukan yaitu 22 atau 30 hari itu tidak tercapai kata sepakat mediasi itu wajib dinyatakan gagal oleh mediator dan hal itu harus dilaporkan oleh mediator ke majelis hakimnya untuk melanjutkan pemeriksaan perkara dengan proses biasa. Agar tidak rancu, proses mediasi di luar pengadilan artinya tetap di lingkungan pengadilan, tapi mediatornya bukan berasal dari mediator yang ada dalam list mediator yang diajukan pengadilan.
Di Indonesia proses mediasi memang untuk memang perdata. Di luar negeri pelanggaran itu bisa melalui proses mediasi. Namun hukum di Indonesia mengkategorisasikan pelanggaran ke dalam hukum pidana. Sehingga untuk pelanggaran tidak mungkin diselesaikan melalui proses mediasi.
Pada dasarnya proses mediasi tertutup untuk umum kecuali untuk kasus-kasus publik seperti lingkungan, yang melibatkan banyak pihak. Mediasi untuk kasus lingkungan di atas dilaksanakan secara terbuka karena melibatkan banyak pihak, jadi sudah semestinya membuka akses informasi kepada publik.
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan namun proses mediasi belum berhasil, maka dokumen-dokumen yang dipakai pada saat proses mediasi tidak boleh dipergunakan di persidangan. Larangan tersebut didasari dengan alasan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan jika misalnya ada pihak yang beritikad tidak baik. Yang harus dimusnahkan adalah notulen atau catatan mediator. Selain itu pengakuan para pihak yang ada dalam proses mediasi itu juga tidak boleh dibeberkan lagi pada saat sidang. Bahkan mediator atau salah satu pihak yang terlibat dalam proses mediasi juga tidak dapat diminta menjadi saksi dalam persidangan untuk kasus yang sama,
Dalam pelatihan mediator juga diajarkan bagaimana cara mediator mencoba menjadi activism, menjadi fasilitator dan mempunyai communication skill . Proses mediasi ini dikontrol oleh para pihak. Jadi itu kuncinya. Jika terjadi proses mediasi misalnya antara saya dengan A, kemudian di tengah proses mediasi ini saya merasa mediator sudah mulai tidak netral dan memihak kepada A, maka saya bisa saja bilang bahwa saya tidak setuju dengan proses mediasi ini karena mediator tidak netral. Saya dapat meminta agar mediator diganti atau saya anggap mediasi ini gagal.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka hasil dari proses mediasi dalah kesepakatan antar para pihak. Kesepkatan tersebut dituangkan dalam suatu akta perdamaian yang bersifat final dan binding serta berkekuatan hukum tetap. Sehingga menkanisme pengawasan pelaksanaan kesepakatan tersebut sama seperti eksekusi putusan biasa yang berkekuatan hukum tetap, yaitu dari pihak pengadilan sendiri.
Proses penyelesaian melalui mediasi diawali dengan mediator mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah/kaukus sebelum pertemuan lengkap diselenggarakan untuk mengetahui informasi apa saja yang boleh dan tidak boleh diungkap dalam pertemuan lengkap. Artinya pada tahap ini sudah ada peringatan dari mediator. Misalnya seperti larangan menyerang pihak lawan dengan bahasa yang memang tidak enak didengar. Kemudian mediator dapat mempengaruhi apa yang disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lawannya dengan cara memodifikasi pesan dalam bahasa yang dapat diterima dan dipahami oleh kedua belah pihak. Terkadang kita berbicara sesuatu tapi belum tentu lawan bicara kita menangkap apa yang kita maksudkan. Mediator bisa membatasi atau menginterupsi salah satu pihak kalau misalnya yang dibicarakan itu menyangkut hal yang sensitif bagi pihak lain. Sebelum melakukan proses mediasi, para pihak sudah harus memasukan data tentang persengketaan. Data ini sebenarnya cukup melalui pengumpulan data, dan hasilnya dianalisis untuk kemudian disusun rencana atau strategi mediasi.
Mediator juga dapat melakukan pencarian data-data ke lapangan agar dia lebih sensitif. Namun lagi-lagi, mediator disini bukan sebagai pihak yang memutus, melainkan lebih kepada pihak yang mengkondisikan agar pertemuan dapat melahirkan kesepakatan-kesepakatan berdasarkan kepentingan para pihak.
Dalam teori mediasi, analisa konflik dari bahan-bahan yang sudah dikumpulkan tadi dapat dilakukan dengan memahami apa yang disebut circle of conflict/lingkaran konflik. Dalam lingkaran konflik itu ada 5 kategori masalah yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan analisa konflik. Misalnya masalah hubungan antara para pihak, seperti “ada apa sebenarnya diantara para pihak?, kenapa keduanya tetap ngotot, pernah bersengketa sebelumnya atau bagaimana? dan sebagainya. Kemudian masalah ketidaksepakatan tentang data. Misalnya ketika dikonfrontir jawabnya selalu mengelak. Kemudian juga masalah kepentingan yang bertentangan. Misalnya bisa jadi yang 1 maunya kanan, yang 1 lagi maunya kiri. Kemudian masalah hambatan struktural dan masalah perbedaan tata nilai yang kesemuanya sebenarnya udah bisa dijadikan sebagai acuan.
Kemudian dalam hal di tengah-tengah proses mediasi para pihak sakit/berhalangan, Perma memang tidak mengatur mengenai hal itu. Namun menurut kami, kalau memang para pihak berkeinginan kuat secara damai menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi, atau dengan kata lain ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan sengketa itu, proses mediasinya fleksibel dan harus berdasarkan kesepakatan, maka mungkin saja dimintakan tambahan waktu. Tapi sekali lagi, hal ini memang tidak diatur dalam Perma.

3. ARBITRASE
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar peradilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
 Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut.Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase,sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para     pihak   sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo)
2.      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis)
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
4. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
a. Negosiasi atau perundingan                     
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
b. Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).

c.Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).


5. ARBITRASE DAN LEGITASI
Dasar hukum Arbitrase dan Mediasi
                Undang-undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku 12 Agustus 1999; Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg)
JENIS ARBITASE :
*      institusional: BANI, ICC
*      ad-hoc, UNCITRAL Rules
TEMPAT ARBITASE :
*      lokal: di Indonesia, walaupun rules, para Pihak, arbiternya asing
*      international: di luar Indonesia
Persamaan Litigasi di Pengadilan dan Arbitrase
*      putusannya mengikat para pihak;
*      ada yang menang dan ada yang kalah;
*      ada hukum acara yang mengatur persidangan.
Jurisdiksi:
*      Pengadilan: Pasal 118 HIR; segala jenis sengketa.
*      Arbitrase: diperjanjikan sebelum atau sesudah timbul sengketa; sengketa bisnis saja.
*      Mediasi: diperjanjikan sebelum atau sesudah timbul sengketa; segala jenis sengketa, kecuali yang tidak bisa diputuskan dengan kesepakatan, mis: pembagian harta gono-gini dengan mediasi, cerainya dengan putusan pengadilan
Keuntungan Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan
*      sidang tertutup untuk umum;
*      prosesnya cepat (maksimal 6 bulan);
*      putusannya final dan tidak dapat dibanding/kasasi;
*      arbiternya dipilih oleh para pihak;
*      arbiternya ahli dalam bidang yang disengketakan;
*      arbiternya mempunyai integritas/moral yang tinggi (pada umumnya);
*      walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada ’biaya-biaya lain’;
*      khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase; dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi dari para pihak;
*       dissenting opinion.



Kelemahan Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan
Tidak mempunyai kekuatan untuk eksekusi putusan, jika pihak yang kalah tidak mau secara sukarela memenuhi putusan arbitrase.
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Mediatornya disini kita sebut saja misalnya pengadilan. Dimana dengan sistem ini kedua  pihak  yang bersengketa datang bersama secara pribadi saling berhadapan antara satu dengan yang lain. Kedua pihak berhadapan langsung dengan mediator dimana mediator merupakan pihak ke tiga dimana mediator disini tidak memihak pihak manapun bisa dikatakan pihak ke tiga atau mediator haruslah netral.
Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Karena apabila hal tersebut terjadi keduanya hanya akan terjebak, pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way). Ya, untuk apa kita menggunakan mediator kalau kedua pihak tidak mengikuti prosedur yang ada. Jika diibaratkan, untuk apa kita menggunakan jasa perahu kalau kedua pihak bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan berenang sehingga lebih cepat untuk mendapatkan ikan. Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain, seperti sederhana dan cepat (informal dan quick), prinsip konfidensial, diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
a.       Biaya administrasi
b.      Honor arbitrator
c.       Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d.      Biaya saksi dan ahli.
Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.

2.      Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.

Kelebihan tersebut antara lain:
1.      Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.      Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3.      Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4.      Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5.      Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1.      Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2.      Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3.      Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).

Manfaat menggunakan sistem mediasi, antara lain:
1.      Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2.      Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3.      Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4.      Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara:
(a) informal,
(b) fleksibel,
(c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5.      Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6.      Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7.      Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.      Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2.      Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.

3.      Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.

DAFTAR PUSTAKA

e-journal.uajy.ac.id/6627/1/JURNAL.pdf 
http://www.academia.edu/4532315/JURNAL_STRATEGI_NEGOSIASI_BISNIS 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar