Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja.
Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan
kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan,
antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan
sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat
terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan
ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan
pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks
hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah
perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap
kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun
keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau
salah satu pihak (Nurnaningsih Amriani, 2012: 12).
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai
macam pemecahan masalah, antara lain :
1. NEGOSIASI
A. Pengertian
Negosiasi
Definisi negosiasi secara formal dapat diartikan sebagai suatu
bentuk pertemuan bisnis antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu
kesepakatan bisnis. Negosiasi merupakan perundingan antara dua pihak dimana
didalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar menawar. Selain itu
negosiasi juga merupakan ijab kabul dari sebuah proses interaksi yang dilakukan
oleh kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima atas sesuatu yang
ditentukan dengan kesepakatan bersama.
v
Keterampilan – keterampilan dasar
Berikut ini
adalah keterampilan-keterampilan dasar dalam bernegosiasi yaitu :
1. Ketajaman pikiran / kelihaian
2. Kesabaran
3. Kemampuan Beradaptasi
4. Daya tahan
5. Kemampuan bersosialisasi
6. Konsentrasi
7. Kemampuan berkomunikasi
8. Memiliki selera humor
v
Kriteria dalam Bernegosiasi
Adapun criteria
dalam melakukan negosiasi antara lain :
1. Ada pihak – pihak yang terlibat
2. Ada tujuan yang hendak dicapai setiap
pihak
3. Ada permasalahan yang dibahas
4. Ada proses tawar-menawar
5. Ada harapan mencapai kesepakatan
B. Langkah-langkah melakukan
Negosiasi
1. Persiapan
Langkah pertama dalam melakukan negosiasi adalah langkah persiapan.
Persiapan yang baik merupakan fondasi yang kokoh bagi negosiasi yang akan kita
lakukan. Hal tersebut akan memberikan rasa percaya diri yang kita butuhkan
dalam melakukan negosiasi. Yang pertama harus kita lakukan dalam langkah
persiapan adalah menentukan secara jelas apa yang ingin kita capai dalam negosiasi.
Tujuan ini harus jelas dan terukur, sehingga kita bisa membangun ruang untuk
bernegosiasi. Tanpa tujuan yang terukur, kita tidak memiliki pegangan untuk
melakukan tawar-menawar atau berkompromi dengan pihak lainnya.
Hal kedua dalam persiapan negosiasi adalah kesiapan mental kita.
Usahakan kita dalam kondisi relaks dan tidak tegang. Cara yang paling mudah
adalah dengan melakukan relaksasi. Bagi kita yang menguasai teknik pemrograman
kembali bawah sadar (subconscious reprogramming) kita dapat melakukan latihan
negosiasi dalam pikiran bawah sadar kita, sehingga setelah melakukannya berkali-kali secara mental, kita menjadi lebih siap dan percaya
diri.
a. Pembukaan
Mengawali sebuah negosiasi tidaklah semudah yang kita bayangkan.
Kita harus mampu menciptakan atmosfir atau suasana yang tepat sebelum proses
negosiasi dimulai. Untuk mengawali sebuah negosiasi dengan baik dan benar, kita
perlu memiliki rasa percaya diri, ketenangan, dan kejelasan dari tujuan kita
melakukan negosiasi. Ada tiga sikap yang perlu kita kembangkan dalam mengawali
negosiasi yaitu: pleasant (menyenangkan), assertive (tegas, tidak plin-plan),
dan firm (teguh dalam pendirian). Senyum juga salah satu hal yang kita perlukan
dalam mengawali sebuah negosiasi, sehingga hal tersebut akan memberikan
perasaan nyaman dan terbuka bagi kedua pihak. Berikut ada beberapa tahapan
dalam mengawali sebuah negosiasi:
a. Jangan
memegang apa pun di tangan kanan anda ketika memasuki ruangan negosiasi;
b. Ulurkan
tangan untuk berjabat tangan terlebih dulu;
c. Jabat tangan
dengan tegas dan singkat;
d. Berikan
senyum dan katakan sesuatu yang pas untuk mengawali pembicaraan.
Selanjutnya dalam pembicaraan awal, mulailah dengan membangun common
ground, yaitu sesuatu yang menjadi kesamaan antar kedua pihak dan dapat
dijadikan landasan bahwa pada dasarnya selain memiliki perbedaan, kedua pihak
memiliki beberapa kesamaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun rasa
percaya.
b. Memulai proses negosiasi
Langkah pertama
dalam memulai proses negosiasi adalah menyampaikan (proposing) apa yang menjadi
keinginan atau tuntutan kita. Yang perlu diperhatikan dalam proses penyampaian
tujuan kita tersebut adalah:
a. Tunggu saat yang tepat bagi kedua pihak
untuk memulai pembicaraan pada materi pokok
negosiasi;
b. Sampaikan pokok-pokok keinginan atau
tuntutan pihak anda secara jelas, singkat dan penuh
percaya diri;
c. Tekankan
bahwa anda atau organisasi anda berkeinginan untuk mencapai suatu kesepakatan
dengan mereka;
d. Sediakan
ruang untuk manuver atau tawar-menawar dalam negosiasi, jangan membuat hanya
dua pilihan ya atau tidak;
e. Sampaikan
bahwa ”jika mereka memberi anda ini anda akan memberi mereka itu – if you’ll
give us this, we’ll give you that.” Sehingga mereka mengerti dengan jelas apa
yang harus mereka berikan sebagai kompensasi dari apa yang akan kita berikan.
f. Hal kedua
dalam tahap permulaan proses negosiasi adalah mendengarkan dengan efektif apa
yang ditawarkan atau yang menjadi tuntutan pihak lain. Mendengar dengan efektif
memerlukan kebiasaan dan teknik-teknik tertentu. Seperti misalnya bagaimana
mengartikan gerakan tubuh dan ekspresi wajah pembicara. Usahakan selalu
membangun kontak mata dengan pembicara dan kita berada dalam kondisi yang
relaks namun penuh perhatian.
a. Zona Tawar Menawar (The Bargaining Zone)
Dalam proses
inti dari negosiasi, yaitu proses tawar menawar, kita perlu mengetahui apa itu
The Bargaining Zone (TBZ). TBZ adalah suatu wilayah ruang yang dibatasi oleh
harga penawaran pihak penjual (Seller’s Opening Price) dan Tawaran awal oleh
pembeli (Buyer’s Opening Offer). Di antara kedua titik tersebut terdapat
Buyer’s Ideal Offer, Buyer’s Realistic Price dan Buyer’s Highest Price pada
sisi pembeli dan Seller’s Ideal Price, Seller’s Realistic Price dan Seller’s
Lowest Price pada isi pembeli. Kesepakatan kedua belah pihak yang paling baik
adalah terjadi di dalam wilayah
yang disebut
Final Offer Zone yang dibatasi oleh Seller’s Realistic Price dan Buyer’s
Realistic Price. Biasanya kesepakatan terjadi ketika terdapat suatu overlap
antara pembeli dan penjual dalam wilayah Final Offer Zone.
b. Membangun Kesepakatan
Babak terakhir dalam proses negosiasi adalah membangun kesepakatan
dan menutup negosiasi. Ketika tercapai kesepakatan biasanya kedua pihak
melakukan jabat tangan sebagai tanda bahwa kesepakatan (deal or agreement)
telah dicapai dan kedua pihak memiliki komitmen untuk melaksanakannya.
Yang perlu kita ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai
kesepakatan kalau sejak awal masing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki
niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus dibangun dari keinginan atau
niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak bertepuk sebelah tangan.
Karena itu, penting sekali dalam awal-awal negosiasi kita memahami
dan mengetahui sikap dari pihak lain, melalui apa yang disampaikan secara
lisan, bahasa gerak tubuh maupun ekspresi wajah. Karena jika sejak awal salah
satu pihak ada yang tidak memiliki niat atau keinginan untuk mencapai
kesepakatan, maka hal tersebut berarti membuang waktu dan energi kita. Untuk
itu perlu dicari jalan lain, seperti misalnya: conciliation, mediation dan
arbitration melalui pihak ketiga.
Demikian sekilas mengenai negosiasi, yang tentunya masih banyak hal
lain yang tidak bisa dikupas dalam artikel pendek. Yang penting bagi kita
selaku praktisi Mandiri, kita harus tahu bahwa negosiasi bukan hal yang asing.
Setiap kita adalah negosiator dan kita melakukannya setiap hari
setiap saat. Selain itu negosiasi memerlukan karakter (artinya menggunakan
seluruh hati dan pikiran kita), memerlukan penguasaan metoda atau pun
teknik-tekniknya dan memerlukan kebiasaan dalam membangunperilaku bernegosiasi
yang baik dan benar.
2. MEDIASI
1.Pengertian
mediasi
Dalam kepustakaan ditemukan banyak definisi tentang mediasi. Menurut
Prof. Takdir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara
dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak
netral yang tidak memilih kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut
mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.
Tetapi menurut
Peraturan Mahkamah Agung, Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 ayat (6) PERMA No.
2 tahun 2003)..
2. Alasan adanya mediasi
a. karena adanya pengintegrasian
mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu
instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.
b. karena
mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat mernberikan
akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau
penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi;
c. karena
institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa
disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif);
d. karena hukum
acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, rnendorong para
pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan
tingkat pertama;
Sesuai dengan pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 2/2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan
mediator
3. Pihak yang wajib melakukan mediasi.
Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan
membawa sengketa mereka ke pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh
penyelesaian. (pasal 1 ayat (7) PERMA No. 2 tahun 2003)
Dalam Perma Nomor 2 tahun 2003 diatur bahwa mediasi bisa
dilaksanakan di dalam dan diluar pengadilan. Jika proses mediasi dilaksanakan
di dalam pengadilan maka pelaksanaannya gratis karena memakai fasilitas
pengadilan. Tetapi jika proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, maka
para pihak harus bersepakat mengenai tempat, biaya dan sebagainya yang
diperlukan.
4. Prosedur Mediasi
Proses mediasi itu awalnya sama seperti orang berperkara biasa,
dimana penggugat mendaftarkan perkaranya. Kemudian pada hari pertama sidang
hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dalam Perma ini juga
diberikan beberapa pilihan. Artinya mediator itu tidak harus hakim, tapi juga
bisa non hakim, dan tidak harus di pengadilan, namun bisa juga di luar
pengadilan. Yang paling penting hakim dengan sedemikian rupa mencoba
mendamaikan mereka melalui mediasi. Alternatifnya, ada para pihak yang tetap
tidak mau damai/mediasi karena udah terlanjur benci atau ada perasaan negatif
dengan institusi pengadilan jika proses mediasinya dilaksanakan di dalam
pengadilan. Oleh sebab itu mereka boleh melakukan proses mediasi di luar
pengadilan, tapi mereka terlebih dahulu sudah meregister seperti halnya dalam
meregister perkara biasa. Kemudian hakim membuka sidang dan menawarkan serta
mengupayakan perdamaian atau mediasi.
Yang jelas pengupayaan itu dilakukan pada saat sidang yang pertama
kali. Hal itu telah diatur dalam hukum acara sendiri. Jadi para pihak harus
menempuh proses perdamaian itu. Tentunya ada waktu-waktu tertentu. Kalau
misalnya memilih di luar pengadilan paling lama waktunya itu satu bulan, dan
kalau dalam pengadilan itu 22 hari.
Sebelum memulai proses persidangan, hakim mengupayakan perdamaian
terlebih dahulu, yaitu dengan menawarkan apakah para pihak bersedia untuk
menyelesaikan perselisihan melalui mediasi atau tidak. Para pihak diberi jangka
waktu satu hari untuk memilih mau melaksanakan proses mediasi dimana (di luar
atau di dalam pengadilan). Kalau misalnya tidak bisa juga atau mereka tidak
mengambil keputusan akan hal itu maka hakim yang akan memutuskan dimana proses
mediasi akan dilakasanakan. Kalau proses mediasi dilaksanakan di dalam maka
para pihak boleh memilih hakim-hakim yang akan jadi mediatornya.
Mediasi itu sebenarnya bagian dari alternatif penyelesaian sengketa.
Tapi yang kita bicarakan disini adalah mediasi yang kita sebut court connected
mediation artinya mediasi di dalam ruang lingkup pengadilan. Namun karena dia
adalah pemberdayaan dari Pasal 130 HIR maka mediasi menjadi wajib sifatnya.
Tapi pengertian mediasi secara umum memang seperti yang saya katakan, yaitu
mediasi di dalam perma itu memang sifatnya mandatory, tapi nature dari mediasi
sendiri itu adalan voluntary atau sukarela.
Untuk memulai suatu proses mediasi di pengadilan itu para pihak
dalam hal ini penggugatnya (semua dalam mediasi adalah perkara perdata) harus
mengajukan gugatan, pendaftaran perkara, melewati ketua Pengadilan Negeri untuk
menunjuk majelis hakim dan pada hari yang ditentukan yaitu pada hari pertama
sidang majelis hakim harus mengupayakan perdamaian kepada para pihak. Dengan
mengupayakan perdamaian itu diarahkan agar para pihak melalui proses mediasi
dulu. Dalam Perma tentang Mediasi ditentukan bahwa majelis hakim yang menangani
perkara itu berbeda dengan mediator yang nanti akan mencoba mendamaikan kedua
belah pihak. Jadi kalau tadinya ada kekhawatiran bahwa hakim itu naturenya
selalu keras karena mungkin selama ini dia memang dididik untuk seperti itu,
maka dengan adanya Perma ini pandangan seperti harus diubah, karena hakim itu
tidak selalu bersifat memutus. Selain itu mediator yang ada di pengadilan atau
yang akan ada di proses mediasi itu sebelumnya sudah ditraining. Dalam perma
ini memang yang menjadi mediator itu ada 2, yaitu hakim dan non hakim yang akan
melewati pelatihan khusus mediator.
Saat ini kita sedang menyusun kriteria mediator non hakim itu
kira-kira siapa saja. Kalau kita lihat di berbagai negara, mediator non hakim
itu ada pengacara, pensiunan hakim. Mungkin kalau di indonesia juga bisa pemuka
adat atau pemuka agama. Artinya tidak hanya terbatas pada orang yang bergerak
di bidang hukum saja.
Kesepakatan damai itu yang telah dicapai para pihak haruslah
merupakan haruslah acceptable solution. Jadi kesepakatan tersebut merupakan
kesepakatan yang diterima oleh kedua belah pihak dan menguntungkan kedua belah
pihak. Tidak harus win-win solution, tapi ada garis yang bisa diambil menjadi
kesepakatan. Artinya kedua belah pihak sama-sama menerima keputusan itu, karena
kalau misalnya ternyata kedua belah pihak itu tidak menerima keputusan itu akan
berpengaruh kepada implementasi dari kesepakatan itu.
Berjalanannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang
mediator. Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses
mediasi. Terdapat banyak teori mengenai tugas seorang mediator. Namun secara
umum terdapat 7 tugas seorang mediator. Pertama mediator harus menjalin hubungan
dengan para pihak yang bersengketa agar para pihak tidak menjadi takut untuk
mengemukakan pendapatnya. Kedua, mediator juga harus memilih strategi untuk
membimbing proses mediasi dan mengumpulkan serta menganalisa proses mediasi dan
latar belakang sengketa. Hal ini penting untuk dilakukan agar mediator dalam
mengarahkan mengetahui jalur penyelesaian sengketa ini bagaiamana dan
selanjutnya menyusun rencana-rencana mediasi serta membangun kepercayaan dan
kerjasama. Bentuk mediasi dapat berupa sidang-sidang mediasi. Ketiga, mediator
harus mampu untuk merumuskan masalah dan menyusun agenda, karena kadang-kadang
yang kelihatan dari luar itu sebenarnya yang besar-besarnya saja. Sebenarnya
kalau dalam persengketaan itu ada kepentingan lain yang dalam teori Alternatif
Dispute Resolution (ADR) disebut interest base/apa yang benar-benar para pihak
mau. Interest base itu kadang-kadang tidak terungkap di luar proses ADR.
Keempat, Mediator juga harus mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para
pihak. terkadang ada para pihak yang beritikad tidak baik, dan hal itu tidak
boleh. Keenam, mediator juga harus membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa,
pintar dan jeli dalam memandang suatu masalah. Ketujuh, Mediator dapat
menganalisa pilihan-pilihan tersebut untuk diberikan kepada para pihak dan
akhirnya sampai pada proses tawar menawar akhir dan tercapai proses
penyelesaian secara formal berupa kesepakatan antar para pihak. Sebaiknya yang
hadir dalam proses mediasi adalah pihak-pihak yang mengambil keputusan agar jangan
sampai terjadi ketimpangan
Dalam Perma Nomor 2 tahun 2003 diatur bahwa mediasi bisa
dilaksanakan di dalam dan diluar pengadilan. Jika proses mediasi dilaksanakan
di dalam pengadilan maka pelaksanaannya gratis karena memakai fasilitas
pengadilan. Tetapi jika proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, maka
para pihak harus bersepakat mengenai tempat, biaya dan sebagainya yang
diperlukan.
Di atas disebutkan bahwa mediator harus mampu untuk menggali
masalah, termasuk masalah yang tidak terungkap. Tahap ini kurang lebih
merupakan tahap pembuktian apabila di sidang pengadilan. Untuk memperoleh
data-data yang belum terungkap, maka keahlian dari si mediator sangat
diperlukan. Jadi si mediator harus mencoba untuk menggali
kepentingan-kepentingan dan mencoba supaya para pihak bisa mengerti dan
kemudian menyusun solusinya. Mediator harus berhati-hati juga, karena mediasi
itu ada unsur art and science, jadi si mediator berhati-hati dalam mengemukakan
atau menggali kepentingan-kepentingan yang ada. Jika ia tidak berhati-hati
bisa-bisa mediator itu akhirnya dibilang tidak netral. Sebenarnya di dalam
mediasi itu tidak ada yang namanya extensive discovery.
Setelah pemilihan penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan
fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang
diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan
para pihak. Semua hal itu harus diungkapkan dalam proses mediasi untuk
memudahkan para pihak. Namun dalam proses mediasi, dimungkinkan pemanggilan
saksi ahli atas persetujuan para pihak, untuk memberikan penjelasan dan
pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.
Semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Namun apabila proses mediasi tersebut tidak berhasil dan para pihak ternyata
melanjutkan perselisihan tersebut ke pengadilan, maka sebaiknya dipakai saksi
ahli yang lain, kecuali orang yang ahli di bidang itu hanya sedikit atau hanya
satu orang. Saksi ahli itu dipanggil untuk penyelesaian perbedaan sesuai dengan
ilmu dan keahliannya. Apa yang dia ungkapkan pada proses mediasi maupun
pengadilan itu sifatnya bukan untuk memihak salah satu pihak melainkan
berbicara mengenai fakta sebenarnya. Fungsi mediator disini hanya mengarahkan
aja. Perlu tidaknya keterangan saksi ahli tergantung para pihak.
Jangka waktu proses mediasi telah ditentukan dalam Perma. Untuk
mediasi di luar pengadilan jangka waktunya 30 hari. Sedangkan apabila proses
mediasi tersebut berjalan di dalam pengadilan, maka jangka waktu proses mediasi
tersebut adalah 22 hari setelah penunjukan mediator. Jadi nanti setelah waktu
yang ditetapkan itu kembali ke pengadilan. Kemudian dimintakan penetapan oleh
hakim. Jika dalam batas waktu yang ditentukan yaitu 22 atau 30 hari itu tidak
tercapai kata sepakat mediasi itu wajib dinyatakan gagal oleh mediator dan hal
itu harus dilaporkan oleh mediator ke majelis hakimnya untuk melanjutkan
pemeriksaan perkara dengan proses biasa. Agar tidak rancu, proses mediasi di
luar pengadilan artinya tetap di lingkungan pengadilan, tapi mediatornya bukan
berasal dari mediator yang ada dalam list mediator yang diajukan pengadilan.
Di Indonesia proses mediasi memang untuk memang perdata. Di luar
negeri pelanggaran itu bisa melalui proses mediasi. Namun hukum di Indonesia
mengkategorisasikan pelanggaran ke dalam hukum pidana. Sehingga untuk
pelanggaran tidak mungkin diselesaikan melalui proses mediasi.
Pada dasarnya proses mediasi tertutup untuk umum kecuali untuk
kasus-kasus publik seperti lingkungan, yang melibatkan banyak pihak. Mediasi
untuk kasus lingkungan di atas dilaksanakan secara terbuka karena melibatkan
banyak pihak, jadi sudah semestinya membuka akses informasi kepada publik.
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan namun proses
mediasi belum berhasil, maka dokumen-dokumen yang dipakai pada saat proses
mediasi tidak boleh dipergunakan di persidangan. Larangan tersebut didasari
dengan alasan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan jika misalnya ada
pihak yang beritikad tidak baik. Yang harus dimusnahkan adalah notulen atau
catatan mediator. Selain itu pengakuan para pihak yang ada dalam proses mediasi
itu juga tidak boleh dibeberkan lagi pada saat sidang. Bahkan mediator atau
salah satu pihak yang terlibat dalam proses mediasi juga tidak dapat diminta
menjadi saksi dalam persidangan untuk kasus yang sama,
Dalam pelatihan
mediator juga diajarkan bagaimana cara mediator mencoba menjadi activism,
menjadi fasilitator dan mempunyai communication skill . Proses mediasi ini
dikontrol oleh para pihak. Jadi itu kuncinya. Jika terjadi proses mediasi
misalnya antara saya dengan A, kemudian di tengah proses mediasi ini saya
merasa mediator sudah mulai tidak netral dan memihak kepada A, maka saya bisa
saja bilang bahwa saya tidak setuju dengan proses mediasi ini karena mediator
tidak netral. Saya dapat meminta agar mediator diganti atau saya anggap mediasi
ini gagal.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka hasil dari proses mediasi
dalah kesepakatan antar para pihak. Kesepkatan tersebut dituangkan dalam suatu
akta perdamaian yang bersifat final dan binding serta berkekuatan hukum tetap.
Sehingga menkanisme pengawasan pelaksanaan kesepakatan tersebut sama seperti
eksekusi putusan biasa yang berkekuatan hukum tetap, yaitu dari pihak
pengadilan sendiri.
Proses penyelesaian melalui mediasi diawali dengan mediator
mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah/kaukus sebelum
pertemuan lengkap diselenggarakan untuk mengetahui informasi apa saja yang
boleh dan tidak boleh diungkap dalam pertemuan lengkap. Artinya pada tahap ini
sudah ada peringatan dari mediator. Misalnya seperti larangan menyerang pihak
lawan dengan bahasa yang memang tidak enak didengar. Kemudian mediator dapat
mempengaruhi apa yang disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lawannya dengan
cara memodifikasi pesan dalam bahasa yang dapat diterima dan dipahami oleh
kedua belah pihak. Terkadang kita berbicara sesuatu tapi belum tentu lawan
bicara kita menangkap apa yang kita maksudkan. Mediator bisa membatasi atau
menginterupsi salah satu pihak kalau misalnya yang dibicarakan itu menyangkut
hal yang sensitif bagi pihak lain. Sebelum melakukan proses mediasi, para pihak
sudah harus memasukan data tentang persengketaan. Data ini sebenarnya cukup
melalui pengumpulan data, dan hasilnya dianalisis untuk kemudian disusun
rencana atau strategi mediasi.
Mediator juga dapat melakukan pencarian data-data ke lapangan agar
dia lebih sensitif. Namun lagi-lagi, mediator disini bukan sebagai pihak yang
memutus, melainkan lebih kepada pihak yang mengkondisikan agar pertemuan dapat
melahirkan kesepakatan-kesepakatan berdasarkan kepentingan para pihak.
Dalam teori mediasi, analisa konflik dari bahan-bahan yang sudah
dikumpulkan tadi dapat dilakukan dengan memahami apa yang disebut circle of
conflict/lingkaran konflik. Dalam lingkaran konflik itu ada 5 kategori masalah
yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan analisa konflik. Misalnya masalah
hubungan antara para pihak, seperti “ada apa sebenarnya diantara para pihak?,
kenapa keduanya tetap ngotot, pernah bersengketa sebelumnya atau bagaimana? dan
sebagainya. Kemudian masalah ketidaksepakatan tentang data. Misalnya ketika
dikonfrontir jawabnya selalu mengelak. Kemudian juga masalah kepentingan yang
bertentangan. Misalnya bisa jadi yang 1 maunya kanan, yang 1 lagi maunya kiri.
Kemudian masalah hambatan struktural dan masalah perbedaan tata nilai yang
kesemuanya sebenarnya udah bisa dijadikan sebagai acuan.
Kemudian dalam
hal di tengah-tengah proses mediasi para pihak sakit/berhalangan, Perma memang
tidak mengatur mengenai hal itu. Namun menurut kami, kalau memang para pihak
berkeinginan kuat secara damai menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi,
atau dengan kata lain ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan sengketa itu,
proses mediasinya fleksibel dan harus berdasarkan kesepakatan, maka mungkin
saja dimintakan tambahan waktu. Tapi sekali lagi, hal ini memang tidak diatur
dalam Perma.
3. ARBITRASE
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”.
Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti
sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
arbitrage atau schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta
diluar peradilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut
dipilih oleh para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang
tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan
memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
Arbitrase di Indonesia
dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat
banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk
mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata
arbitrare (Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para
sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin
penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan
(judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court,
sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk
kegiatan tersebut.Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam
mahkamah arbitrase,sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang
sedang ditangani.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement
for taking anabiding by the judgement of selected persons in some disputed
matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is
intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation of
ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1Undang Undang Nomor 30 tahun
1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam
2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam
suatu perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum timbul sengketa
(Factum de compromitendo)
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis)
Sebelum UU
Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651
Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1)
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
4. Perbandingan
antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
a. Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah
cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan
kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut
diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut
secara baik.
b. Litigasi
adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang
terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh
hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution
(solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan
putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain
menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup
pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi
menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa
dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang
relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana,
Cepat dan Murah)
Sedangkan
kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya
kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan
Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut
dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke
Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan
hukum tetap)
2. Hakim yang
"awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum.
namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh
hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak
tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan
mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim
juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak
ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi
hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan
konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan
pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib
memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih
lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka
pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan
kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim
harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk
dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta
perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati
akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke
pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka
perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama
tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan
sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
c.Arbitrase
Arbitrase adalah
cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini
bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa
perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh
prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula
arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat
perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa
tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya.
Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak
akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban
pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap
diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut
sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan
litigasi antara lain:
1. Arbitrase
relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang
bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang
tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak
tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak
dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga
boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter
merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan
lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk
menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal
ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang
disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian
Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para
pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan
upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal
tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan
setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad
tidak baik dari arbiter.
Sedangkan
kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang
relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau
pihak yang kalah)
2. Putusan
Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke
Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup
arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan,
ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
5. ARBITRASE
DAN LEGITASI
Dasar hukum
Arbitrase dan Mediasi
Undang-undang
No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku 12
Agustus 1999; Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg)
JENIS ARBITASE :
institusional: BANI, ICC
ad-hoc, UNCITRAL Rules
TEMPAT ARBITASE
:
lokal: di Indonesia, walaupun
rules, para Pihak, arbiternya asing
international: di luar
Indonesia
Persamaan
Litigasi di Pengadilan dan Arbitrase
putusannya mengikat para pihak;
ada yang menang dan ada yang
kalah;
ada hukum acara yang mengatur
persidangan.
Jurisdiksi:
Pengadilan: Pasal 118 HIR;
segala jenis sengketa.
Arbitrase: diperjanjikan
sebelum atau sesudah timbul sengketa; sengketa bisnis saja.
Mediasi: diperjanjikan sebelum
atau sesudah timbul sengketa; segala jenis sengketa, kecuali yang tidak bisa
diputuskan dengan kesepakatan, mis: pembagian harta gono-gini dengan mediasi,
cerainya dengan putusan pengadilan
Keuntungan
Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan
sidang tertutup untuk umum;
prosesnya cepat (maksimal 6
bulan);
putusannya final dan tidak
dapat dibanding/kasasi;
arbiternya dipilih oleh para
pihak;
arbiternya ahli dalam bidang
yang disengketakan;
arbiternya mempunyai
integritas/moral yang tinggi (pada umumnya);
walaupun biaya formalnya lebih
mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada ’biaya-biaya lain’;
khusus di Indonesia, para pihak
dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase; dan Majelis Arbitrase
dapat langsung meminta klarifikasi dari para pihak;
dissenting opinion.
Kelemahan
Arbitrase dibandingkan Litigasi di Pengadilan
Tidak mempunyai
kekuatan untuk eksekusi putusan, jika pihak yang kalah tidak mau secara sukarela
memenuhi putusan arbitrase.
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation
(berperkara di pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian
sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari
penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Mediatornya disini kita
sebut saja misalnya pengadilan. Dimana dengan sistem ini kedua pihak
yang bersengketa datang bersama secara pribadi saling berhadapan antara
satu dengan yang lain. Kedua pihak berhadapan langsung dengan mediator dimana
mediator merupakan pihak ke tiga dimana mediator disini tidak memihak pihak
manapun bisa dikatakan pihak ke tiga atau mediator haruslah netral.
Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise
atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari kompromi, mediator
memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Karena apabila hal tersebut terjadi keduanya hanya akan terjebak, pada
yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan,
akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and
you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way).
Ya, untuk apa kita menggunakan mediator kalau kedua pihak tidak mengikuti
prosedur yang ada. Jika diibaratkan, untuk apa kita menggunakan jasa perahu
kalau kedua pihak bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan berenang
sehingga lebih cepat untuk mendapatkan ikan. Cara dan sikap yang seperti itu,
bertentangan dengan asas mediasi.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem
alternatif yang lain, seperti sederhana dan cepat (informal dan quick), prinsip
konfidensial, diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan
khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap
fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation,
minitrial atau adjusdication. Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi yang
maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau
win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada
yang menang mutlak.
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal
(expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama
adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang
harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang
harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya
atrbitrase terdiri dari:
a. Biaya administrasi
b. Honor arbitrator
c. Biaya transportasi dan akomodasi
arbitrator
d. Biaya saksi dan ahli.
Komponen biaya
yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya
yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan
tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar
salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah
informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal
dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi
banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari,
Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang
bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai
penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan
(governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan
tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. Dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum
untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase; dan
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang
mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase secara
umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun
dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut
permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para
arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak
menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul
dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan
kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai
permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).
Manfaat
menggunakan sistem mediasi, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick).
Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau
paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya
memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya
mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga
kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup
kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal
cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala
sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka
sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum
seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket).
Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi.
Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri,
berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak
di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak.
Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti
formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian
bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan
pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara:
(a) informal,
(b) fleksibel,
(c) memberi
kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina
diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa.
Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan
(antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak
berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara
telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena
penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua
belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang
(win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang
merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak
pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara
pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi,
masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti
yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran
masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
Secara garis
besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3
(tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan
negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan
penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara
litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan
arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
DAFTAR PUSTAKA
e-journal.uajy.ac.id/6627/1/JURNAL.pdf
http://www.academia.edu/4532315/JURNAL_STRATEGI_NEGOSIASI_BISNIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar