Ilmu ekonomi ternyata tidak meningkatkan
kecintaan para ekonom pada bangun perusahaan koperasi yang menonjolkan asas
kekeluargaan, karena sejak awal model-modelnya adalah model persaingan
sempurna,bukan kerjasama sempurna. Koperasi yang merupakan ajaran ekonomi
kelembagaan ala John Commons mengutamakan keanggotaan yang tidak berdasarkan
kekuatan modal tetapi berdasar pemilikan usaha seberapapun kecilnya. Koperasi
adalah perkumpulan orang atau badan hukum bukanperkumpulan modal. Koperasi
hanya akan berhasil jika manajemennya bersifatterbuka/transparan dan
benar-benar partisipatif.
Keprihatinan kita atas terjadinya kesenjangan sosial,
dan ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan bangsa, seharusnya merangsang
para ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untuk mengadakan kajian mendalam
menemukenali akar-akar penyebabnya. Khusus bagi para ekonom tantangan yang
dihadapi amat jelas karena justru selama Orde Baru ekonomdianggap sudah sangat
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara meyakinkansehingga menaikkan
status Indonesia dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah.
Krisis yang disebut krisis moneter dan
krisis perbankan tahun 1998 tidak urung kini hanya disebut sebagai krisis
ekonomi yang menandakan betapa bidang ekonomi dianggap mencakupi segala bidang
sosial dan non-ekonomi lainnya. Inilah alasan lain mengapa ekonom Indonesia
mempunyai tugas sangat berat sebagai penganalisismasalah-masalah sosial-ekonomi
besar yang sedang dihadapi bangsanya. Perbedaan pendapat di antara ahli hukum
atau ahli sosiologi dapat terjadi barangkali tanpa implikasiserius, sedangkan
jika perbedaan itu terjadi di antara pakar-pakar ekonomi maka akibatnya sungguh
dapat sangat serius bagi banyak orang, bahkan bagi perekonomian nasional
Indonesia.
Peran koperasi dalam perekonomian nasional
semakin tak terdengar gaungnya. Hal ini di karenakan, koperasi yang identik
dengan kalimat soko guru perekonomian nasional nyatanya tak mampu memberikan
kontribusi besar terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Koperasi yang masih
aktif pun tidak sedikit yang pada praktiknya melenceng dari tujuan utama, yakni
meningkatkan kesejahteraan anggota. Selama ini masalah perubahan paradigma
tidak pernah menjadi isu sentral. Padahal, orientasi koperasi ke ranah
kapitalis seperti yang saat ini bergulir sangat berbahaya. Saat ini saja,
koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional hanya tinggal sebatas jargon.
Tanamkan paradigma bahwa koperasi besar bukan karena SHU atau asset melainkan
kesejahteraan anggota. Perubahan paradigma tersebut harus dilakukan menyeluruh
dan terintegrasi sinergis. Eksistensi koperasi jangan sekadar menjadi
perwujudan konstitusi. Lebih dari itu, keberadaan koperasi harus dilihat
sebagai kebutuhan. Melencengnya paradigma sebenarnya salah satu dari beragam
permasalahan yang mencengkram dunia koperasi dewasa ini. Dalam prakteknya masih
banyak masalah melilit sektor perkoperasian khususnya terkait daya saing yang
kian melemah. Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan
sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic
positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama
anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan
masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah
koperasi juga telah sesuai impian pendiri koperasi untuk menjadi sokoguru
perekonomian Indonesia?
Banyak sudah program-program yang dilakukan
pemerintah dalam pengembangan koperasi yang sudah dinilai sangat baik. Koperasi
juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, diupayakan pemberdayaan dan
penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis (penelitian,
pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan,
peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan
perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di
pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga
profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan
perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan
sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan
kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah
sampai nasional. Dalam proses
pembangunan ekonomi, kita menyadari kerap terjadi sektor-sektor yang
terpinggirkan atau terlupakan, baik oleh para pelaku ekonomi maupun para
pengambil kebijakan ekonomi. Biasanya yang terpinggirkan atau terlupakan ini
adalah mereka yang bergerak di usaha kecil, mikro, menengah, dan beberapa jenis
badan usaha yng kurang mendapat arah, seperi koperasi. Padahal, usaha kecil
tidak pernah mempersoalkan kenapa mereka menjadi kecil. Mereka memahami adanya
perbedaan kemakmuran, besar-kecil, sebagai bagian yan tidak terhindarkan dalam
sistem ekonomi seperti yang kita alami saat ini. Namun persoalannya bukanlah
pada lebih atau kurang, tapi lebih kepada sebuah etos : jangan mengambil
segalanya sehingga tidak tertinggal apapun bagi orang lain.
Tidaklah berlebihan apabila ditengah upaya kita
menghadapi pasar bebas dan globalisasi, upaya membangun koperasi yang memiliki
daya saing, efisiensi, budaya perusahaan (corporate culture), dan inovasi,
menjadi hal yang tak terhindarkan. Koperasi adalah bangun usaha yang paling
cocok bagi karakter bangsa kita dalam menghadapi globalisasi tersebut. Oleh
karena itu kita semua berupaya mengangkat atau membawa kembali koperasi kedalam
mainstream pembangunan bangsa. Semoga pada akhir hari nanti, bukan hanya
pertanyaan-pertanyaan mengenai harapan koperasi tetapi juga jawaban yang
bermakna dan konkret bagi pengembangan koperasi di era globalisasi.
Kemungkinan besar nasib koperasi yang kurangnya
regulasi pemerintah dalam menangani perkembangan pasar modern atau kurangnya
pemahaman ilmu ekonomi koperasi pada masyarakat. Karena koperasi memiliki point
penting yaitu anggota harus berkontribusi penuh karena akan mendapatkan
keuntungan sesuai jasa yang telah diberikan, akan tetapi masyarakat lebih memikirkan
keuntungan yang cepat tanpa ada kerja keras yang tinggi. Serta persoalan
manajemen keuangan yang kurang profesional sehingga menghambat kinerja
koperasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah juga
patut disalahkan dengan nasib koperasi saat ini karena pemerintah kurang
memberikan stimulan atau pemberian dana. Jadi mengakibatkan perputaran uang
menjadi tersendat dan mengakibatkan kegiatan koperasi pun kurang optimal dan
bahkan gulung tikar. Tetapi dari sisi masyarakat pun seharusnya ikut berperan
dalam memajukan koperasi di Indonesia, karena koperasi itu bersifat
kekeluargaan dan anggotanya pun bisa dikatakan sebagai pemilik. Jadi, anggota
yaitu masyarakat harus mengawasi jalannya koperasi karena tanpa pengawasan
koperasi akan kurang maksimal kinerjanya.
Faktor lain yang mengakibatkan koperasi sulit
maju di Indonesia adalah koperasi hanya
akan berhasil jika manajemennya bersifat terbuka/transparan dan benar-benar
partisipatif. Artinya dengan keterbukaan manajemen terhadap anggota sehingga
menumbuhkan rasa percaya terhadap koperasi jadi tidak hanya menjadi anggota
sementara saja. Gambaran koperasi sebagai ekonomi kurang berkelas menjadi bahan
pertimabangan masyarakat Indonesia padahal yang sesungguhnya pendapat tersebut
tidak benar. Sehingga menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan koperasi
menjadi unit ekonomi yang lebih besar, maju dan memiliki daya saing dengan
perusahaan-perusahaan yang besar.
Badan koperasi saat ini harus ditingkatkan agar
lebih baik lagi dan kegiatannya pun harus lebih ditingkatkan lagi untuk
meningkatkan kualitas koperasi saat ini. Dan badan usaha koperasi harus lebih
di perhatikan lagi agar mencapai tujuan koperasi yakni, mensejahterakan
masyarakat dan anggota-anggotanya.
Daftar Pustaka
http://www.academia.edu/14385907/Jurnal_Koperasi
http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2927-16062008.pdf
Daftar Pustaka
http://www.academia.edu/14385907/Jurnal_Koperasi
http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2927-16062008.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar