BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan adalah sebuah fenomena yang paling tidak ”bersahabat”
untuk diperdengarkan bagi siapapun, karena secara realistis kemiskinan
menunjukkan ketidakcukupan bagi komunitas yang merasakannya. Namun demikian,
tidak jarang kemiskinan menjadi sebuah komoditas bagi sebagian komunitas lain
untuk mendapat keuntungan dengan cara mengekploitasi kemiskinan, melalui sebuah
upaya pembenaran situasional dengan berbagai argumen teoritis didalamnya dan
semata-mata untuk mengedepankan kepentingan pribadi maupun golongan.
Secara teoritis, bahasan tentang kemiskinan telah banyak
disampaikan oleh para pemerhati dan ilmuwan yang melakukan pendalaman kajian
pada permasalahan kemiskinan, hingga muncul berbagai konsep dan pandangan serta
upaya untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Salahsatu konsep budaya
kemiskinan yang disampaikan seorang antropolog Budi Rajab (2004), memaknai
kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat
memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya. Konsep tersebut
memberikan pengertian bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan seseorang memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang serta papan untuk
kelangsungan hidup dan meningkatkan posisi sosial stukturalnya. Sumberdaya
material yang dimiliki dan dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekedar
mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya dan tidak memungkinkan
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Lebih lanjut disampaikan bahwa ada tiga pendekatan yang
mencoba menjelaskan mengenai sebab-sebab kemiskinan, yaitu system approach,
decision- making model dan structural approach. Berdasarkan pada
pendekatan sistem (system approach), akar kemiskinan lebih diakibatkan
dengan adanya keterbatasan pada aspek-aspek geografi, ekologi, teknologi dan
demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut,
dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan
atau pedalaman, sehingga perlu dilakukan intervensi tertentu untuk meningkatkan
kemampuan daya dukung lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang
memiliki kemampuan dan kapasitas lebih besar dalam mengekplorasi dan
mengeksploitasi sumber-sumberdaya stuktural, sehingga dapat tercapai surplus
produksi serta dapat meningkatkan nilai tambah hasil produksi, selain juga harus
diupayakan untuk membangun dan memperbaiki prasarana dan sarana transportasi
dan komunikasi publik yang memungkinkan daerah yang bersangkutan menjadi
terbuka, sehingga memudahkan arus pertukaran barang dan jasa, serta
diterapkannya program untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk (Budi Rajab,
2004).
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam
mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif),
sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan
sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep
pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang
lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara
fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam
konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting
untuk mengatasi masalahnya. Menurut Sumitro Maskun (2000), pemberdayaan
merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang
ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya
manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini
memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang
dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan
masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang
mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang
dimiliki oleh masyarakat miskin.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang, maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimana strategi untuk
mengoptimalkan segala potensi yang dapat memberdayakan masyarakat dalam
mengatasi kemiskinan struktural di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Agar
pembaca dapat mengetahui masalah perekonomian di Indonesia dan bagaimana cara
mengatasi kemiskinan di Indonesia.
BAB
II
TELAAH TEORI
Kemiskinan
struktural dipahami sebagai kemiskinan yang terjadi disebabkan ketidakmerataan
terhadap sumberdaya karena struktur dan peran seseorang dalam masyarakat.
Sedangkan kemiskinan kultural memandang bahwa faktor budaya dan kebiasaan
(kultural) sebagai penyebab utama kondisi kemiskinan
Menurut
Nasikum (1995; 56) terdapat tiga ciri kemiskinan struktural: jauh dari
alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, dan terasing dari
kemungkinan partisipasi. Kemiskinan struktural didasarkan pada teori Johan
Galtung yang menyatakan, mereka yang di luar ”pusat” yaitu mereka yang berada
di ”pinggiran”. Ini mengindikasikan adanya dua kelas dalam suatu negara, yakni
pusat dan pinggiran. Pusat punya kekuasaan secara politik, sedangkan pinggiran
dibisukan oleh kemiskinan buatan pusat.
(Sritua
Arief. 1977; 41) Faktor Struktural yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh
bobroknya kinerja Pemerintah, banyaknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga
distribusi kekayaan negara yang berlimpah tidak pernah sampai dan adil kepada
masyarakat kelas bawah. Kekayaan negara dikuasai oleh kalangan elit tertentu,
Pemerintah, aparat birokrat, dan sebagaian orang kalangan menengah keatas saja.
Yang miskin semakin susah dan melarat sedangkan yang kaya semakin haus oleh
kekayaan, dan hidupnya semakin konsumtif.
Dalam
kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah
kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan
the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan stuktural
capital dan stuktural neoclasic ortodox (Elson, 1977). Secara umum, pendekatan
yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada
individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi
kurang terjamah. Dalam Edi Suharto (2002) dikemukakan:
In
its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost
as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings
who have something to contribute to both the identification of their condition
and its improvement.
Beberapa
pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk melihat
garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP),
Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting
Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).
BAB
III
PEMBAHASAN
Kemiskinan
Struktural
Kemiskinan
struktural dipahami sebagai kemiskinan yang terjadi disebabkan ketidakmerataan
terhadap sumberdaya karena struktur dan peran seseorang dalam masyarakat.
Sedangkan kemiskinan kultural memandang bahwa faktor budaya dan kebiasaan
(kultural) sebagai penyebab utama kondisi kemiskinan
Menurut
Nasikum (1995; 56) terdapat tiga ciri kemiskinan struktural: jauh dari
alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, dan terasing dari
kemungkinan partisipasi. Kemiskinan struktural didasarkan pada teori Johan
Galtung yang menyatakan, mereka yang di luar ”pusat” yaitu mereka yang berada
di ”pinggiran”. Ini mengindikasikan adanya dua kelas dalam suatu negara, yakni
pusat dan pinggiran. Pusat punya kekuasaan secara politik, sedangkan pinggiran
dibisukan oleh kemiskinan buatan pusat. (Sritua Arief. 1977; 41) Faktor Struktural
yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh bobroknya kinerja Pemerintah, banyaknya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga distribusi kekayaan negara yang
berlimpah tidak pernah sampai dan adil kepada masyarakat kelas bawah. Kekayaan
negara dikuasai oleh kalangan elit tertentu, Pemerintah, aparat birokrat, dan
sebagaian orang kalangan menengah keatas saja. Yang miskin semakin susah dan
melarat sedangkan yang kaya semakin haus oleh kekayaan, dan hidupnya semakin
konsumtif.
Dalam
kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah
kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm)
dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan
stuktural capital dan stuktural neoclasic ortodox (Elson, 1977). Secara
umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada individual
poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah.
Dalam Edi Suharto (2002) dikemukakan: In its standardised
conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims
and subjects of investigation rather than as human beings who have something to
contribute to both the identification of their condition and its improvement.
Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang
digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross
National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human
Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical
Quality of Life Index (PQLI).
Fungsi
pemberdayaan dimana pemerintah dibebani kewajiban untuk meningkatkan peran
serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan. Begitu juga peran
swasta, perlu lebih digalakkan. Sedangkan fungsi pelayanan merupakan fungsi
utama pemerintah dan cukup beragam sesuai dengan dinamika masyarakat. (H.
Sumitro Maskun, 1997: 41). Tugas pokok pemerintah sebagai suatu prganisasi
modern sehingga suatu pemerintah itu dibentuk dan sekaligus merupakan fungsi
utamanya adalah pelayanan kepada masyarakat yang memungkinkan terciptanya
kondisi dimana setiap orang atau masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Nasikun, 1996 hal. 16).
Konsep
pembangunan adalah gerakan mengubah serta memobilisasi lingkungan sehingga
menjadi lebih kondusif bagi terciptanya masyarakat mandiri yang lepas dari
berbagai bentuk eksploitasi. Itu berarti bahwa kegiatan pembangunan tidak hanya
menyentuh persoalan stuktural dan teknologi, tetapi lebih dari ituadalah
persoalan harkat dan martabat manusia (Sunyoto Usman, 1998, hal iii).
Memberdayaan
masyarakat melalui proses pembangunan menuju suatu perubahan dengan tujuan
melakukan reformasi di segala bidang maka perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut : (1) pembangunan harus berbasis pada kekuatan komunitas yang bersifat Bottom
up daripada top down, (2) pembangunan tidak hanya berpusat pada
birokrasi dan penguasa yang cenderung kurang demokratis tetapi berpusat pada
kekuatan dan kedaulatan rakyat yang lebih demokratis, dan (3) pembangunan tidak
lagi memihak pada kepentingan pengusaha dan penguasa yang hanya dinikmati oleh
sekelompok orang tetapi memihak pada kepentingan orang banyak, terutama si
miskin dan si lemah serta mengutamakan keadilan dan pemerataan. (Tadjudin N.
Effendi,1999, hal. 120).
Upaya untuk membangun daya (potensi) yang dimiliki manusia
atau masyarakat dengan mondorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Memberdayakan masyarakat
adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang
dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepas diri dari perangkap kemiskinan
dan keterbelakangan. Sumber daya manusia yang berupaya menumbuhkan kesadaran
akan kemandiriannya yang memungkinkan mereka untuk secara kritis melihat
situasi struktural yang melingkupi eksistensinya. Konsep ini menempatkan
partisipasi masyarakat sebagai suatu hal yang sebenarnya ada dalam paradigma
pembangunan yang seimbang antara pembinaan yang dilakukan pemerintah dengan
aspirasi yang dating dari masyarakat (Moeljarto Tjokrowinoto1999, hal. 29)
Dalam
tata kehidupan dan penghidupan masyarakat, setiap keluarga tidak akan terlepas
dari permasalahan (goncangan dan tekanan). Permasalahan yang dimaksud di sini
dapat berupa permasalahan ekonmomi maupun sosial. Dari uraian terdahulu telah
dikemukakan bahwa keluarga fakir miskin mempunyai potensi untuk survive
dalam berbagai kondisi. Dinamika dan mobilitas mereka dalam pekerjaan
relatif tinggi. Dalam rangka menanggapi goncangan dan tekanan (shock and
stress), pada dasarnya mereka mempunyai mereka mempunyai strategi yang
cukup handal. Menurut Gunawan Sumodiningrat (1997), mereka adalah
manajer dengan seperangkat aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya.
Pendekatan
kualitatif dalam kajian kemiskinan adalah pendekatan untuk menggali pendapat
masyarakat (subjektif), termasuk kelompok miskin, mengenai kemiskinan,
aspek-aspek sosial dari perilaku dan pengalaman kelompok miskin, dan mengetahui
secara mendalam gaya hidup komunitas dan pengalaman yang berarti pada kelompok
tersebut. Pendekatan ini secara umum digunakan untuk mencari jawaban
tentang how-bagaimana dan why-mengapa. Pendekatan
yang sering digunakan para ahli sosial dan antropologi ini merupakan pendekatan
aras mikro, yaitu pada wilayah terbatas, namun mendalam.
Strategi
yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan
karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang
dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain: melakukan aktivitas sendiri,
memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk
memperoleh penghasilan. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran
stuktural ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang stuktural.
Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang.
Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak
anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang
seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga
dalam peran stuktural. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka
relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat
dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.
Akar
kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja
keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan
kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor
kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal.
Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang
menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi
kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal. (Moeljarto
Tjokrowinoto, 1999)
Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan,
kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah, semuanya merupakan
faktor internal. Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh
faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda
rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari
rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya
penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah akibat dari kurangnya
pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari
kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari
keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses
saling terkait. Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan
tidak jelas harus mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya,
seharusnya bisa diatasi dengan penciptaan lapangan kerja.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
segi kuantitas, jumlah keluarga miskin yang relatif banyak merupakan potensi
besar bagi pembangunan nasional. Berbagai upaya yang telah ditempuh keluarga
fakir miskin telah cukup banyak. Jumlah anggota keluarga yang relatif besar
(rata-rata 5 orang) dan setiap anggota keluarga dapat berperan dalam kegiatan
stuktural, namun realitas perstukturalannya masih tetap sulit berkembang
(statis) dan cenderung terkesan apatis, dan pasrah pada nasib.
Solidaritas di antara mereka (baik dalam mengatasi permasalahan sosial dan
stuktural) merupakan potensi besar untuk pencegahan terhadap munculnya
permasalahan sosial lain yang lebih besar, sehingga mereka tetap mampu bertahan
dalam berbagai kondisi yang serba sulit.
Pembangunan
dan pemberdayaan merupakan dua konsep dengan ranah yang berbeda. Jikapun ada
keterkaitan antara keduanya, maka pemberdayaan sering dipahami tidak lebih
hanya sekedar dampak tidak langsung dari munculnya sejumlah masalah dalam
pembangunan, khususnya kemiskinan. Kesejahteraan dalam hal ini adalah
perspektif yang berupaya mempertegas faktor-faktor struktural bagi munculnya
kemiskinan. Realitas kemiskinan dan kebijakan pembangunan di Indonesia
memperlihatkan adanya faktor-faktor struktural tersebut. Faktor struktural
tersebut memungkinkan dan telah menyebabkan marjinalisasi bagi kalangan
masyarakat kelas bawah karena terciptanya suatu hambatan berupa terbatasnya
kesempatan bagi yang sudah melarat untuk memperbaiki kondisi hidupnya. Tanpa
perubahan, faktor-faktor struktural tersebut justru menciptakan sustainable
poverty (kemiskinan yang berkelanjutan).
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/9699938/KEMISKINAN_STRUKTURAL_SEBAGAI_MASALAH_SOSIAL_DI_ERA_GLOBALISASI
Lubis, Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan
Struktural. Jakarta: Rajawali Grafiti.
Fakih,
Mansour.2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta:
INSIST PRESS.
Rukminto, Adi Isbandi. 2008. Intervensi
Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagi Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta : Rajawali Pers.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar