Selasa, 03 Mei 2016

Masalah Kemiskinan Struktural di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Kemiskinan adalah sebuah fenomena yang paling tidak ”bersahabat” untuk diperdengarkan bagi siapapun, karena secara realistis kemiskinan menunjukkan ketidakcukupan bagi komunitas yang merasakannya. Namun demikian, tidak jarang kemiskinan menjadi sebuah komoditas bagi sebagian komunitas lain untuk mendapat keuntungan dengan cara mengekploitasi kemiskinan, melalui sebuah upaya pembenaran situasional dengan berbagai argumen teoritis didalamnya dan semata-mata untuk mengedepankan kepentingan pribadi maupun golongan.


Secara teoritis, bahasan tentang kemiskinan telah banyak disampaikan oleh para pemerhati dan ilmuwan yang melakukan pendalaman kajian pada permasalahan kemiskinan, hingga muncul berbagai konsep dan pandangan serta upaya untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Salahsatu konsep budaya kemiskinan yang disampaikan seorang antropolog Budi Rajab (2004), memaknai kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya. Konsep tersebut memberikan pengertian bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang serta papan untuk kelangsungan hidup dan meningkatkan posisi sosial stukturalnya. Sumberdaya material yang dimiliki dan dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekedar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya dan tidak memungkinkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Lebih lanjut disampaikan bahwa ada tiga pendekatan yang mencoba menjelaskan mengenai sebab-sebab kemiskinan, yaitu system approach, decision- making model dan structural approach. Berdasarkan pada pendekatan sistem (system approach), akar kemiskinan lebih diakibatkan dengan adanya keterbatasan pada aspek-aspek geografi, ekologi, teknologi dan demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan atau pedalaman, sehingga perlu dilakukan intervensi tertentu untuk meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang memiliki kemampuan dan kapasitas lebih besar dalam mengekplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumberdaya stuktural, sehingga dapat tercapai surplus produksi serta dapat meningkatkan nilai tambah hasil produksi, selain juga harus diupayakan untuk membangun dan memperbaiki prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi publik yang memungkinkan daerah yang bersangkutan menjadi terbuka, sehingga memudahkan arus pertukaran barang dan jasa, serta diterapkannya program untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk (Budi Rajab, 2004).

Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Sumitro Maskun (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.

1.2  Rumusan Masalah

     Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimana strategi untuk mengoptimalkan segala potensi yang dapat memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kemiskinan struktural di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

         Agar pembaca dapat mengetahui masalah perekonomian di Indonesia dan bagaimana cara mengatasi kemiskinan di Indonesia.


BAB II


TELAAH TEORI


      Kemiskinan struktural dipahami sebagai kemiskinan yang terjadi disebabkan ketidakmerataan terhadap sumberdaya karena struktur dan peran seseorang dalam masyarakat. Sedangkan kemiskinan kultural memandang bahwa faktor budaya dan kebiasaan (kultural) sebagai penyebab utama kondisi kemiskinan

      Menurut Nasikum (1995; 56) terdapat tiga ciri kemiskinan struktural: jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, dan terasing dari kemungkinan partisipasi. Kemiskinan struktural didasarkan pada teori Johan Galtung yang menyatakan, mereka yang di luar ”pusat” yaitu mereka yang berada di ”pinggiran”. Ini mengindikasikan adanya dua kelas dalam suatu negara, yakni pusat dan pinggiran. Pusat punya kekuasaan secara politik, sedangkan pinggiran dibisukan oleh kemiskinan buatan pusat.

     (Sritua Arief. 1977; 41) Faktor Struktural yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh bobroknya kinerja Pemerintah, banyaknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga distribusi kekayaan negara yang berlimpah tidak pernah sampai dan adil kepada masyarakat kelas bawah. Kekayaan negara dikuasai oleh kalangan elit tertentu, Pemerintah, aparat birokrat, dan sebagaian orang kalangan menengah keatas saja. Yang miskin semakin susah dan melarat sedangkan yang kaya semakin haus oleh kekayaan, dan hidupnya semakin konsumtif.

     Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan stuktural capital dan stuktural neoclasic ortodox (Elson, 1977). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada  individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah. Dalam Edi Suharto (2002) dikemukakan:
In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement.

      Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).


 

BAB III
PEMBAHASAN

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural dipahami sebagai kemiskinan yang terjadi disebabkan ketidakmerataan terhadap sumberdaya karena struktur dan peran seseorang dalam masyarakat. Sedangkan kemiskinan kultural memandang bahwa faktor budaya dan kebiasaan (kultural) sebagai penyebab utama kondisi kemiskinan

Menurut Nasikum (1995; 56) terdapat tiga ciri kemiskinan struktural: jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, dan terasing dari kemungkinan partisipasi. Kemiskinan struktural didasarkan pada teori Johan Galtung yang menyatakan, mereka yang di luar ”pusat” yaitu mereka yang berada di ”pinggiran”. Ini mengindikasikan adanya dua kelas dalam suatu negara, yakni pusat dan pinggiran. Pusat punya kekuasaan secara politik, sedangkan pinggiran dibisukan oleh kemiskinan buatan pusat. (Sritua Arief. 1977; 41) Faktor Struktural yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh bobroknya kinerja Pemerintah, banyaknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga distribusi kekayaan negara yang berlimpah tidak pernah sampai dan adil kepada masyarakat kelas bawah. Kekayaan negara dikuasai oleh kalangan elit tertentu, Pemerintah, aparat birokrat, dan sebagaian orang kalangan menengah keatas saja. Yang miskin semakin susah dan melarat sedangkan yang kaya semakin haus oleh kekayaan, dan hidupnya semakin konsumtif.

Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan stuktural capital dan stuktural neoclasic ortodox (Elson, 1977). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada  individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah. Dalam Edi Suharto (2002) dikemukakan: In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement.

    Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).


Pemberdayaan Masyarakat

Fungsi pemberdayaan dimana pemerintah dibebani kewajiban untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan. Begitu juga peran swasta, perlu lebih digalakkan. Sedangkan fungsi pelayanan merupakan fungsi utama pemerintah dan cukup beragam sesuai dengan dinamika masyarakat. (H. Sumitro Maskun, 1997: 41). Tugas pokok pemerintah sebagai suatu prganisasi modern sehingga suatu pemerintah itu dibentuk dan sekaligus merupakan fungsi utamanya adalah pelayanan kepada masyarakat yang memungkinkan terciptanya kondisi dimana setiap orang atau masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Nasikun, 1996 hal. 16).

Konsep pembangunan adalah gerakan mengubah serta memobilisasi lingkungan sehingga menjadi lebih kondusif bagi terciptanya masyarakat mandiri yang lepas dari berbagai bentuk eksploitasi. Itu berarti bahwa kegiatan pembangunan tidak hanya menyentuh persoalan stuktural dan teknologi, tetapi lebih dari ituadalah persoalan harkat dan martabat manusia (Sunyoto Usman, 1998, hal iii).

Memberdayaan masyarakat melalui proses pembangunan menuju suatu perubahan dengan tujuan melakukan reformasi di segala bidang maka perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) pembangunan harus berbasis pada kekuatan komunitas yang bersifat Bottom up daripada top down, (2) pembangunan tidak hanya berpusat pada birokrasi dan penguasa yang cenderung kurang demokratis tetapi berpusat pada kekuatan dan kedaulatan rakyat yang lebih demokratis, dan (3) pembangunan tidak lagi memihak pada kepentingan pengusaha dan penguasa yang hanya dinikmati oleh sekelompok orang tetapi memihak pada kepentingan orang banyak, terutama si miskin dan si lemah serta mengutamakan keadilan dan pemerataan. (Tadjudin N. Effendi,1999, hal. 120).

Upaya untuk membangun daya (potensi) yang dimiliki manusia atau masyarakat dengan mondorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepas diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Sumber daya manusia yang berupaya menumbuhkan kesadaran akan kemandiriannya yang memungkinkan mereka untuk secara kritis melihat situasi struktural yang melingkupi eksistensinya. Konsep ini menempatkan partisipasi masyarakat sebagai suatu hal yang sebenarnya ada dalam paradigma pembangunan yang seimbang antara pembinaan yang dilakukan pemerintah dengan aspirasi yang dating dari masyarakat (Moeljarto Tjokrowinoto1999, hal. 29)

Dalam tata kehidupan dan penghidupan masyarakat, setiap keluarga tidak akan terlepas dari permasalahan (goncangan dan tekanan). Permasalahan yang dimaksud di sini dapat berupa permasalahan ekonmomi maupun sosial. Dari uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa keluarga fakir miskin mempunyai potensi untuk survive dalam berbagai kondisi. Dinamika dan mobilitas mereka dalam pekerjaan relatif tinggi. Dalam rangka menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress), pada dasarnya mereka mempunyai mereka mempunyai strategi yang cukup handal. Menurut Gunawan Sumodiningrat (1997), mereka adalah manajer dengan seperangkat aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya.

Pendekatan kualitatif dalam kajian kemiskinan adalah pendekatan untuk menggali pendapat masyarakat (subjektif), termasuk kelompok miskin, mengenai kemiskinan, aspek-aspek sosial dari perilaku dan pengalaman kelompok miskin, dan mengetahui secara mendalam gaya hidup komunitas dan pengalaman yang berarti pada kelompok tersebut.  Pendekatan ini secara umum digunakan untuk mencari jawaban tentang how-bagaimana dan why-mengapa. Pendekatan yang sering digunakan para ahli sosial dan antropologi ini merupakan pendekatan aras mikro, yaitu pada wilayah terbatas, namun mendalam.

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk  peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain: melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran stuktural ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang stuktural. Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran stuktural. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.

Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal. (Moeljarto Tjokrowinoto,  1999)

Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah,  semuanya merupakan faktor internal.  Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait. Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi dengan penciptaan lapangan kerja.

BAB III

KESIMPULAN

Dari segi kuantitas, jumlah keluarga miskin yang relatif banyak merupakan potensi besar bagi pembangunan nasional. Berbagai upaya yang telah ditempuh keluarga fakir miskin telah cukup banyak. Jumlah anggota keluarga yang relatif besar (rata-rata 5 orang) dan setiap anggota keluarga dapat berperan dalam kegiatan stuktural, namun realitas perstukturalannya masih tetap sulit berkembang (statis) dan cenderung terkesan apatis, dan pasrah pada nasib. Solidaritas di antara mereka (baik dalam mengatasi permasalahan sosial dan stuktural) merupakan potensi besar untuk pencegahan terhadap munculnya permasalahan sosial lain yang lebih besar, sehingga mereka tetap mampu bertahan dalam berbagai kondisi yang serba sulit.

Pembangunan dan pemberdayaan merupakan dua konsep dengan ranah yang berbeda. Jikapun ada keterkaitan antara keduanya, maka pemberdayaan sering dipahami tidak lebih hanya sekedar dampak tidak langsung dari munculnya sejumlah masalah dalam pembangunan, khususnya kemiskinan. Kesejahteraan dalam hal ini adalah perspektif yang berupaya mempertegas faktor-faktor struktural bagi munculnya kemiskinan. Realitas kemiskinan dan kebijakan pembangunan di Indonesia memperlihatkan adanya faktor-faktor struktural tersebut. Faktor struktural tersebut memungkinkan dan telah menyebabkan marjinalisasi bagi kalangan masyarakat kelas bawah karena terciptanya suatu hambatan berupa terbatasnya kesempatan bagi yang sudah melarat untuk memperbaiki kondisi hidupnya. Tanpa perubahan, faktor-faktor struktural tersebut justru menciptakan sustainable poverty (kemiskinan yang berkelanjutan).

 DAFTAR PUSTAKA

http://www.academia.edu/9699938/KEMISKINAN_STRUKTURAL_SEBAGAI_MASALAH_SOSIAL_DI_ERA_GLOBALISASI 




Lubis, Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: Rajawali Grafiti.


Fakih, Mansour.2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: INSIST PRESS. 

Rukminto, Adi Isbandi. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagi Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.

.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar