Minggu, 28 Mei 2017

HUKUM PERJANJIAN


1. STANDAR KONTRAK
Standar kontrak merupakan perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
· perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
·     Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur  sedangkan kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :
1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.
3. Ada suatu hal tertentu
Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak.
4. Adanya suatu sebab yang halal
Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
• tidak bertentangan dengan ketertiban umum
• tidak bertentangan dengan kesusilaan
• tidak bertentangan dengan undang-undang

2. MACAM-MACAM PERJANJIAN
A.    Berdasarkan Hak dan Kewajiban
Penggolongan ini dilihat dari Hak dan Kewajiban para pihak. Adapun perjanjian-perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa.
1.      Perjanjian Sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya ada hak pada hak lain. Perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak.
Misalnya perjanjian pinjam pakai
2.      Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi.
Misalnya perjanjian jual-beli dan Perjanjian sewa-menyewa
Perjanijian timbal balik dibagi dua,yaitu:
     a. Perjanjian timbal balik sempurna
     b. Perjanjian timbal balik tidak sempurna
Perjanjian timbal balik tidak sempurna senantiasa menimbulkan suatu kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak adanya prestasi yang seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa wajib untuk  melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundak orang memberi pesan. Penerima pesan melaksanakan kewajiban tersebut, apabila si penerima pesan telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantikannya.
B.     Keuntungan yang diperoleh
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya.
1.      Perjanjian Cuma-Cuma
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja.
 Misalnya perjanjian hibah, perjanjian pinjam pakai
2.      Perjanjian Asas Beban
Perjanjian asas beban adalah perjanjian atas prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Misalnya saja A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada
C.    Nama dan Pengaturan
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak bernama).
1.      Perjanijian Bernama (nominaat)
Isilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract. Kontrak nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata. Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
 Misalnya Perjanjian jual beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, perjanjian pengangkutan.
2.      Perjanijian Tidak Bernama (innominaat)
Perjanjian tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat.[5] Jenis perjanjian tidak Bernama ini diatur di dalam Buku III KUH Perdata, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang perjanjian innominaat, yaitu Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang mempunyai nama dalam KUH Perdata maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk pada Buku III KUH Perdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan perjanjian innominaat tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang mengaturnya, tetapi para pihak juga tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata.  Misalnya sewa beli, sewa guna usaha/leasing.
Yang termasuk dalam perjanjian innominaat adalah Perjanjian tidak bernama dibagi 2 yaitu
a.       Perjanijian campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam BW maupun KUHD.
Misalnya perjanjian sewa beli (gabungan sewa-menyewa dan jual-beli).
Setiap orang diperbolehkan/bebas membuat perjanjian bernama, tak bernama, maupun perjanjian campuran, karena Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Per merupakan hukum pelengkap (aanvulent recht)
3. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut
Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a)    Paksaan (dwang, duress)
b)   Penipuan (bedrog, fraud)
c)    Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a)    Orang-orang yang belum dewasa
b)   Mereka yang berada dibawah pengampuan
c)    Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.
3.  Obyek / Perihal tertentu
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
4.  Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1.  Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a)    Objek / Perihal tertentu
b)   Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2.  Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a)    Adanya kesepakatan dan kehendak
b)   Wenang berbuat
3.  Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a)    Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b)   Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c)    Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d)   Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4.  Syarat sah yang khusus
a)    Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b)   Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c)    Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d)   Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu

4. PEMBATALAN PERJANJIAN
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan

5. PENGERTIAN PRESTASI DAN WAN PRESTASI
A. Pengertian Prestasi
Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa :
        Memberikan sesuatu;
        Berbuat sesuatu;
        Tidak berbuat sesuatu.
B. Pengertian Wanprestasi
Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
          Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena *:
        Kesengajaan;
        Kelalaian;
        Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

* Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar