1. STANDAR
KONTRAK
Standar
kontrak merupakan perjanjian yang isinya telah
ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang
digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen
tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
· perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
· Perjanjian baku adalah
perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup
perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak
serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk
disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran
untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang
dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur sedangkan kontrak standar khusus,
artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya
untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah. Berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian
dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam
pasal tersebut, yaitu :
1.
Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Bahwa
semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal
ini tidak terdapat
unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.
2.
Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
Kata
kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan
dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah
berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah
pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam
undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.
3.
Ada suatu hal tertentu
Bahwa
obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para
pihak.
4.
Adanya suatu sebab yang halal
Suatu
sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
•
tidak bertentangan dengan ketertiban umum
•
tidak bertentangan dengan kesusilaan
•
tidak bertentangan dengan undang-undang
2. MACAM-MACAM
PERJANJIAN
A. Berdasarkan Hak dan Kewajiban
Penggolongan
ini dilihat dari Hak dan Kewajiban para pihak. Adapun perjanjian-perjanjian
yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti
pada jual beli dan sewa-menyewa.
1. Perjanjian Sepihak
Perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya
ada hak pada hak lain. Perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban
hanya bagi satu pihak.
Misalnya
perjanjian pinjam pakai
2. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah
pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak
menuntut suatu kontra prestasi.
Misalnya
perjanjian jual-beli dan Perjanjian sewa-menyewa
Perjanijian
timbal balik dibagi dua,yaitu:
a. Perjanjian timbal balik sempurna
b. Perjanjian timbal balik tidak sempurna
Perjanjian
timbal balik tidak sempurna senantiasa menimbulkan suatu kewajiban pokok bagi
satu pihak, sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak
adanya prestasi yang seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan
senantiasa wajib untuk melaksanakan
pesan yang dikenakan atas pundak orang memberi pesan. Penerima pesan
melaksanakan kewajiban tersebut, apabila si penerima pesan telah mengeluarkan
biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus
menggantikannya.
B. Keuntungan yang diperoleh
Penggolongan
ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak
lainnya.
1. Perjanjian Cuma-Cuma
Perjanjian
Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak
saja.
Misalnya perjanjian hibah, perjanjian pinjam
pakai
2. Perjanjian Asas Beban
Perjanjian
asas beban adalah perjanjian atas prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat
kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
Misalnya
saja A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah
benda tertentu pula kepada
C. Nama dan Pengaturan
Penggolongan
ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUH
Perdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355
NBW hanya disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian
nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak bernama).
1. Perjanijian Bernama (nominaat)
Isilah
kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract. Kontrak nominaat
sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde dalam bahasa Belanda.
Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam pasal
1319 KUH Perdata. Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi:
“Semua
perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan
bab yang lalu”.
Misalnya Perjanjian jual beli, sewa menyewa,
penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, perjanjian pengangkutan.
2. Perjanijian Tidak Bernama (innominaat)
Perjanjian
tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang
dalam masyarakat.[5] Jenis perjanjian tidak Bernama ini diatur di dalam Buku
III KUH Perdata, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang perjanjian
innominaat, yaitu Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi:
“Semua
perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan
suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan
bab yang lalu”.
Ketentuan
ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang mempunyai nama dalam KUH Perdata
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk
pada Buku III KUH Perdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan
perjanjian innominaat tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang
mengaturnya, tetapi para pihak juga tunduk pada ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam KUH Perdata. Misalnya sewa beli, sewa guna usaha/leasing.
Yang
termasuk dalam perjanjian innominaat adalah Perjanjian tidak
bernama dibagi 2 yaitu
a. Perjanijian campuran
Perjanjian
campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian.
Perjanjian ini tidak diatur dalam BW maupun KUHD.
Misalnya
perjanjian sewa beli (gabungan sewa-menyewa dan jual-beli).
Setiap
orang diperbolehkan/bebas membuat perjanjian bernama, tak bernama, maupun
perjanjian campuran, karena Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian yang diatur
dalam Buku III KUH Per merupakan hukum pelengkap (aanvulent recht)
3.
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Untuk
mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian
tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan
kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada
umumnya, sebagai berikut
Syarat
sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut
dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi
apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa
kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah
satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan,
maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang
sah.
1.
Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan
syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur
oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan
kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a) Paksaan (dwang, duress)
b) Penipuan (bedrog, fraud)
c) Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana
pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila
diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2.
Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat
wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah
orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana
pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap.
Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita
temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus
dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena
pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri
adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Syarat
sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut
dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi
hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak
yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak
tersebut telah batal.
3. Obyek / Perihal tertentu
Dengan
syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan
dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini
dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal
1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian”
Sedangkan
pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya
Tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya
adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai
hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh
undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum
(Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab
yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Atau
ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi
beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar
suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal
1320 KUH Perdata
a) Objek / Perihal tertentu
b) Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan /
dilegalkan
2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal
1320 KUH Perdata
a) Adanya kesepakatan dan kehendak
b) Wenang berbuat
3. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH
Perdata
a) Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan
kebiasaan yang berlaku
c) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas
kepatutan
d) Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan
umum
4. Syarat sah yang khusus
a) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak
tertentu
b) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak
tertentu
c) Syarat akta pejabat tertentu (selain
notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d) Syarat izin dari pejabat yang berwenang
untuk kontrak-kontrak tertentu
4. PEMBATALAN PERJANJIAN
Suatu
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian
ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak
biasanya terjadi karena;
1.
Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka
waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2.
Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan
atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3.
Terkait resolusi atau perintah pengadilan
5. PENGERTIAN PRESTASI DAN WAN PRESTASI
A.
Pengertian Prestasi
Pengertian
prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu
pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah
mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan
“condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Model-model
dari prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa :
–
Memberikan sesuatu;
–
Berbuat sesuatu;
–
Tidak berbuat sesuatu.
Pengertian
wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau
kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap
pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan
wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan
untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi
sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan
karena wanprestasi tersebut.
Tindakan
wanprestasi ini dapat terjadi karena *:
–
Kesengajaan;
–
Kelalaian;
–
Tanpa kesalahan (tanpa
kesengajaan atau kelalaian)
*
Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure,
yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk
sementara atau selama-lamanya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar